Kau tapaki javastraat yang menyimpan kenangan.
Tak henti bibirmu mengalunkan tembang rindu,
merobek degup perjalanan. Sampai sekarang aku
bertanya untuk apa menembus deretan benua?
Menjejaki tanah salju beraroma tulip ini? Kalau
asmara bisa dijumput di padang halimun, mengapa
harus ke sini? Mukamu merah jingga dengan mulut
nganga. Suara alunmu bersemayam letupan kata-kata,
lalu basah liurmu menarikan luka dalam semesta.
Kuseruput sendiri kopi panas di teras Oude Kerk,
setelah kau menggeliat murka. Sedangkan aku pergi
diam-diam kehabisan kata-kata.
Didik Siswantono
No comments:
Post a Comment